Selasa, 18 September 2012

STRATEGI PEMBELANJAAN DAN STRATEGI FISKAL



A.   DEFINISI STRATEGI PEMBELANJAAN DAN STRATEGI FISKAL
Pada bab ini lebih ditujukan pada proses pembelanjaan organisasi sektor publik. Pembelanjaan merupakan proses pemenuhan kebutuhan pendanaan, baik operasi maupun investasi. Kata kunci pada bab ini adalah dana. Dana sektor publik adalah dana yang digunakan untuk kegiatan maupun pengembangan oleh organisasi sektor publik. Laporan dana dipergunakan untuk memprakirakan kecukupan sumber keuangan yang diperoleh selama satu periode cukup untuk menutupi klaim selama periode tersebut. Sumber keuangan adalah kas, klaim atas kas(piutang), klaim terhadap barang, dan surat berharga entitas lain yang diperoleh sebagai hasil transaksi di masa lalu maupun periode berjalan.
Sedangkan strategi fiskal merupakan suatu kebijakan dari pemerintah untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan memperbaiki penyimpangan yang dilakukan oleh sektor swasta maupun anggota masyarakat lainnya. Dan kebijakan fiskal sendiri adalah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka untuk membelanjakan uangnya guna mencapai tujuan negara dan upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan pemerintah. Sehingga tujuan negara dapat tercapai dengan efektif dan efisien. Peranan pemerintah ini sangat penting mengingat :
1.    Perekonomian akan berjalan baik dan terasa adil bagi semua pihak.
2.    Berdasarkan peraturan yang dibuatnya, pemerintah akan menjamin mekanisme pasar dapat berjalan baik, secara seimbang.
3.    Pemerintah perlu campur tangan dalam menyelesaikan masalah ekstern yang timbul dan akan menyebabkan kegagalan pasar.
4.    Pemerintah dibutuhkan untuk menjamin tetap terbukanya kesempatan kerja dan harga barang tetap stabil.
5.    Atas dasar nilai keadilan sosial, maka peranan pemerintah sangat penting untuk mewujudkan suatu sistem pasar yang mampu menciptakan pembagian pendapatan yang adil dan kesejahteraan yang selalu meningkat.
B.   PERMASALAHAN PENDANAAN
Dalam menjalankan tugas operasi maupun investasi, pemerintah seringkali  mengalami kesulitan pendanaan. Kesulitan itu bisa disebabkan ketidaktepatan perencanaan, boros, dan berbagai sebab lainnya. Berikut ini akan dijabarkan dua kesulitan pendanaan yang biasanya dialami manajemen pemerintah.
1.    Defisit Anggaran
Defisit Anggaran dapat dilihat dari kasus yang terjadi. Misalnya kasus defisit transaksi berjalan dimana setiap daerah/negara belum tentu sama. Transaksi berjalan melibatkan dua bentuk neraca yaitu neraca perdagangan/jasa adalah selisih antara nilai ekspor dengan nilai impor barang/jasa. Secara umum defisit transaksi berjalan dapat diklasifikasi sebagai berikut :
a.    Defisit neraca perdagangan lebih besar dari surplus neraca jasa.
b.    Defisit neraca lebih besar dari surplus neraca perdagangan.
c.    Defisit neraca perdagangan terjadi, bersamaan dengan defisit neraca jasa.
2.    Pinjaman Luar Negeri
Membangun ekonomi suatu bangsa dengan menggunakan pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif yang harus dikajiefektivitasnya. Selain itu, pinjamanyang semakin besar akan menghasilkan ketergantungan yang semakin tinggi. Ini berarti, terlepas politik transfer tehnologi, pinjaman luar negeri bukanlah pilihan terbaik. Berani meminjam berarti berani membayar balik. Pemerintah Indonesia mnampaknya harus diakui terjerat hutang. Besarnya hutang sebelum krisi, diperparah dengan krisis, mengakibatkan ekonomi guncang dan resesi. Ini berarti hutang luar negeri tidak membuahkan pengalaman baik. Oleh sebab itu, tuntutan untuk berinovasi dalam bidang pendanaan muncul.
C.   BENTUK-BENTUK PENDAAAN
1.    Kerjasama Operasi
Dalam membangun sebuah daerah sangat diperlukan dana untuk pembiayaan sehingga ketersediaan sumber pembiayaan ini harus memadai. Secara teoritis, masih terdapat peluang sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan khususnya oleh daerah yaitu melakukan kerjasama. Bentuk-bentuk kerjasama secara umum dapat dikelompokan menurut kategori dibawah ini :
a.    Joint operation
Kerjasama ini dalam bentuk pengelolaan dengan berbagai model :
-          Bangun-operasi-serahkan (built, operate and transfer/BOT)
-          Bangun serah (Built and Transfer/BT)
-          Bangun Serah Sewa (built transfer and rent/BTR)
-          Bangun Kelola Miliki (Built operate and Own /BOO)
-          Konsesi (consenssion)
-          Leasing (afferment)
-          Bagi Hasil (Profit Sharing Arragement)
-          Service contract
-          Management contract
-          Kerjasama Operasi lainnya seperti Sewa Tambah guna (Contract Add and Operted/CAO), Rehabilitasi Guna Serah (rehabilitate, Operate, and transfer/ROT)
b.    Joint ventura
Kerjasama Usaha Patungan. Pemerintah bersama-sama dengan swasta dapat mendirikan perseroan terbatas yang mengacu pada undang-undang No. 1 tahun 1995. Bentuk-bentuk kerja sama diatas lebih banyak dikembangkan berdasarkan pola kemitraan antara sektor swasta dengan sektor publik. Hal ini dilakukan karena kenyataan yang ada bahwa suatu daerah memiliki aset potensial untuk dimanfaatkan atau dikembangkan, namun terhalang keterbatasan sumber dana atau akses ke sumber dana tersebut serta keterbatasa kemampuan SDM dalam memberdayakan aset tersebut. Di sisi lain swasta potensi pendanaan dan teknologi. Kerjasam juga harus dikembangkan dengan mempertimbangkan resiko. Bagi pemerintah, resiko yang akan ditanggung hendakanya lebih  kecil atau tidak menanggung sama sekali.
2.    Obligasi
Salah satu upaya untuk mendapatkan dana adalah menerbitkan obligasi. Pendanaan dengan obligasi tidak terbatas pada pemerintah pusat tetapi juga dapat dikeluarkan oleh daerah atatu badan-badan pemerintah seperti BUMN atau BUMD. Yang diharapkan dari obligasi adalah suntikan dana segar untuk menambah dana pembangunan dan membayar cicilan pokok utang.
a.    Jangka Waktu Obligasi
Untuk jangka pendek berkisar sampai 1 tahun, jangka menengah berkisar 3-10tahun, dan jangka panjang sampai dengan 30 tahun atau lebih. Untuk jangka waktu lebih ditujukan kepada para investor jangka panjang.
b.    Kelebihan dan resiko Obligasi
Kelebihan :
-          Mendapatkan pendapatan tetap
-          Pada saat jatuh tempo investor akan mendapatkan pokok pinjaman yang dapat diinvestasikan
-          Pada obligasi pemerintah, pajak pendapatan obligasi dapat dibebaskan
-          Jika bunga bank turun, maka nilai obligasi akan naik
Resiko :
-          Jika suku bunga bank naik, maka investor akan kehilangan uang karena obligasi yang dimiliki tidak memberikan hasil yang sebaik obligasi yang baru diemisi.
-          Jika terjadi peningkatan inflasi, maka nilai uang investor akan berangsur-angsur berkurang.
c.    Pihak yang berperan dalam penerbitan obligasi
-          Penjamin pelaksana Emisi (underwriter)
-          Wali Amanat (trustee)
-          Agen Pembayaran
-          Penjamin Emisi
3.    Privatisasi
a.    Konsep Privatisasi
Tujuan dari Privatisasi :
1)    Meningkatkan kepemilikan swasta atas asset kunci dalam perekonomian
2)    Membuat pasar baru untuk modalswasta dalam keuangan
3)    Mengurangi kekuatan pergerakan serikat perdagangan.
b.    Metode-metode privatisasi
1)    Penawaran umum
2)    Penempatan langsung
3)    Manajemen buy out
4)    Likuidasi
5)    Privatisasi lelang
6)    Kepemilikan dengan menggunakan dana perwakilan privatisasi
7)    Penjualan aset
c.    Privatisasi di negara lain

4.    Otonomi Daerah
Bentuk hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah terdiri dari :
-          Desentralisasi
Sistem pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah. sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
-          Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang melaksanakan adalah dinas propinsi sebagai perangkat Pemerintah Daerah Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini karena ada kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan tugas-tugas kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah tidak mempunyai instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan tersebut dilimpahkan ke daerah.
-          Pinjaman daerah
5.    Ekuitas
Salah satu sumber dana yang paling populer adalah ekuitas. Ekuitas merupakan dana yang disediakan pemilik usaha ketika mereka menginvestasikan kembali pendapatannya, memberikan kontribusi tambahan, melikuidasi aset, dan menerbitkan saham bagi investor. ekuitas diperoleh melaluii penjualan saham.
D. PENCATATAN PENDANAAN
Anggaran merupakan metode utama yang digunakan oleh entitas pemerintah untuk mengarahkan dan pengendalian pembelanjaan. Beberapa pratik anggaran gagal menempatkan pembelanjaan diperiode anggaran, sehingga dilakukan eksplorasi teknik akuntansi untuk mengukur iterperiode equity. GASB menyatakan fokur pengukuran oprasi dana sektor public pada kemampuan memenuhi kewajiban periode tersebut. Ini berarti aspek utamanya adalah karakter sumber financial dan dasar akrual. GASB menerapkan konteks flow of financial resources dalm fokur pengukuran dimana mensyaratkan dana pemerintah untuk mengakui efek dari transaksi terhadap sumber keuangan pada saat terjadinya, bukan pada saat kas diterima/ dibayarkan.
E. PENERAPAN DIINDONESIA
1.    kerjasama oprasi yaitu kerjasama pemerintah dengan BUMN agar mendapatkan laba yang baik, tujuan nya untuk menambah dana APBD Negara.
2.    Penerbitan obligasi oleh pemerintah tujuannya agara mendapat dana dari masyarakat untuk membiayai, biaya oprasional Negara.



F. FUNGSI KEBIJAKAN FISKAL
 Fungsi Alokasi :
o           Pada dasarnya sumber daya yang dimiliki suatu negara adalah terbatas
o           Pemerintah harus menentukan seberapa besar dari sumber daya yang dimiliki akan dipergunakan untuk memproduksi barang-barang publik, dan seberapa besar akan digunakan untuk memproduksi barang-barang individu
o           Pemerintah harus menentukan dari barang-barang publik yang diperlukan warganya, seberapa besar harus disediakan oleh pemerintah, dan seberapa besar yang dapat disediakan oleh rumahtangga perusahaan
Fungsi Distribusi :
1.    Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar alokasi sumber daya ekonomi dilaksanakan secara efisien
2.    Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar kekayaan terdistribusi secara baik dalam masyarakat, misalnya melalui kebijakan:
-          Perpajakan
-          Subsidi
-          pengentasan kemiskinan
-          transfer penghasilan dari daerah kaya ke daerah miskin
-          bantuan pendidikan
-          bantuan kesehatan, dll
Fungsi Stabilisasi :
1.    Pada pemerintahan modern saat ini, hampir semua negara menyerahkan roda perekonomiannya kepada pihak swasta / perusahaan
2.    Pemerintah lebih berperan sebagai stabilisator, untuk menjaga agar perekonomian berjalan normal:
3.    Menjaga agar permasalahan yang terjadi pada satu sektor perekonomian tidak merembet ke sektor lain
4.    Menjaga agar kondisi perekonomian kondusif:
-          inflasi terkendali
-          sistem keamanan terjamin
-          kepastian hukum terjaga
G. KEBIJAKAN FISKAL PUSAT DAN DAERAH
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai tahun 2001 merupakan tantangan baru dalam manajemen ekonomi makro. Beberapa negara seperti India, Brasil, Rusia, dan Cina pernah menghadapi masalah stabilitas ekonomi makro yang pelik dan berkepanjangan akibat kurang tepat pengelolaan pelaksanaan desentralisasi fiskal. Akar dari permasalahan ini adalah perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat denan pemerintah daerah. Pemerintah daerah lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial contrains) dan pemerintah daerah lebih menaruh perhatian pada masalah alokasi daripada keterbatasan ekonomi (economic contrains) dan stabilitas yang menjadi perhatian pemerintah pusat.
Indonesia melaksanakan desentralilasi karena tuntutan daerah untuk mendapatkan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan pendapatan dari sumber daya alam, pengambilan keputusan politik dan hukum, serta pemerintahan.
Dua undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi adalah :
-          UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemerintah Daerah)
-          UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU PKPD)

Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi :
  1. Dana perimbangan dan bagi hasil.
  2. PAD.
  3. Pinjaman daerah.
  4. Dan lain-lain penerimaan daerah yang sah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasi kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Perimbangan terdiri dari :
  1. Bagian daerah dari penerimaan pajak dan bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari sumber daya alam.
  2. Dana alokasi umum.
  3. Dana alokasi khusus.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasi dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan suatu rencana keuangan tahunan daerah yag ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sumber PAD (pendapatan asli daerah) adalah :
-          Hasil pajak daerah.
-          Hasil retribusi daerah.
-          Hasil Perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
-          Pedapatan lain-lain asli daerah yang sah.

Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Manajemen Ekonomi Makro.
Secara umum, perubahan kewenangan pembenlanjaan maupun penerimaan anggaran, sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan pemerintah pusat melakukan kebijakan ekonomi makro melalui anggaran negara. Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada sejumlah pajak atau pengendalian atas sejumlah anggaran belanja akan banyak mengurangi ruang geraknya, seperti menaikkan pajak atau mengurangi belanja guna mengatasi melonjaknya permintaan dalam negeri. Tetapi stabilitas ekonomi makro juga tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat desentralisasi namun juga tahap pelaksanaan desentralisasi. Pola tahapan desentralisasi pada umumya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dan kelembagaan daripada ekonomi.



H. PENERAPAN STRATEGI FISKAL DI INDONESIA
Jika kita berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang kondisi dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah.
Pemerintah mempunyai berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia.
Yang pertama adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. Salah satu bentuk kebijakan fiskal yang sedang marak adalah BLT (bantuan tunai langsung). Banyak orang melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. Meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
Contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. Pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. Dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. Hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. Dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah. Misalnya dengan deficit financing. Deficit financing adalah anggaran dengan menetapkan pengeluaran > penerimaan. Deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. Untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. Sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungai Mississipi dengan nama Tenesse Valley Project. Proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir. Proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. Dengan adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan masyarakat juga naik. Pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi agar menjadi bergairah.
.
http://penxpower.wordpress.com/2009/02/20/berbagai-kebijakan-pemerintah-dalam-perekonomian-indonesia/


I. KONTROVERSI DESENTRALISASI FISKAL
Sudah sejak lama, format desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) telah menjadi salah satu sumber pertikaian antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.[1] Bahkan ketika desentralisasi dan otonomi daerah mulai diimplementasikan di Indonesia, yang secara monumental ditandai dengan dikeluarkannya UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pertikaian tersebut belum juga berakhir. Padahal format desentralisasi fiskal yang ditawarkan oleh kedua undang-undang tersebut sesungguhnya sudah sangat memadai, setidaknya jika dibandingkan dengan sebelumnya.[2]
Bagi pemerintah daerah, format desentralisasi fiskal tersebut belum sepenuhnya mencerminkan pola relasi yang ideal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Bahkan format desentralisasi fiskal tersebut dinilai belum sanggup memperbaiki ketimpangan horizontol (horizontal instability) yang terjadi selama hampir tiga dekade akibat pola transfer fiskal (fiscal transfer) yang diskriminatif. Tak pelak, tuntutan agar kedua undang-undang tersebut direvisi, terus bergulir.

Puncaknya, pada paruh akhir 2004, pemerintah “mengganti” kedua undang- undang tersebut dengan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui kedua undang-undang baru tersebut, format desentralisasi fiskal direkonstruksi kembali.
Menurut Shah dan Thompson (2002), untuk melihat apakah desentralisasi fiskal berjalan efektif atau tidak, harus dikaitkan dengan 3 (tiga) komponen penting dalam desentralisasi fiskal, yaitu: (1) revenue autonomy and adequacy (adanya otonomi dan kecukupan dalam penerimaan); (2) expenditure autonomy (adanya otonomi dalam pengeluaran) dan (3) borrowing privileges (adanyaprivileges untuk melakukan pinjaman). Sedangkan Bahl (2002), meski substansinya sama dengan Shah dan Thompson, namun mengunakan istilah yang sedikit berbeda, yaitu: (i) significant local government discretion to raise revenue (pemerintah daerah memiliki diskreasi yang signifikan dalam menaikkan penerimaan); (ii) significant local government expenditure responsibilities (pemerintah daerah memiliki kewenangan yang signifikan dalam pengeluaran); dan (iii) local borrowing ability (kemampuan daerah untuk meminjam).
Dalam konteks Indonesia, dari ketiga komponen di atas, tampaknya pelaksanaan desentralisasi fiskal hanya signifikan pada expenditure autonomy. Hal ini sedikitnya dapat dilihat pada 2 (dua) aspek.Pertama, transfer fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui Dana Perimbangan5, khususnya DAU dan Bagi Hasil (Sumberdaya Alam dan Pajak), meningkat cukup signifikan.
Kedua, transfer fiskal tersebut memiliki tingkat fleksibilitas dan diskreasi (flexibility anddiscretion ary) yang sangat tinggi dalam penggunaannya, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan sepenuhnya untuk menggunakan dana-dana tersebut sesuai dengan kebijakan umum dan prioritas daerah, tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Bahkan pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut pun dilakukan secara horizontal (horizontal responsibility), dalam hal ini kepada DPRD  sebagai representasi masyarakat lokal.
Sedangkan revenue autonomy, meskipun merupakan bagian penting dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, namun bagi daerah, dirasakan belum cukup signifikan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang amat terbatas berkaitan dengan peningkatan penerimaannya. Pengaturan kewenangan untuk memungut pajak (tax assignment) yang ditawarkan pemerintah pusat melalui UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU 34/2000 tentang Perubahan Atas UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, belum sepenuhnya menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah menyangkut penerimaan daerah (local revenue). Akibatnya, kemampuan penerimaan pajak daerah (local taxing power) yang dipunyai daerah relatif menjadi amat terbatas. Jenis pajak yang potensial, sepenuhnya masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan sebaliknya, jenis pajak yang tergolong “kurus” diserahkan kepada daerah. PPh Perorangan (salah satu jenis pajak yang potensial) yang dibagi-hasilkan kepada daerah, tampaknya juga hanya menguntungkan beberapa daerah saja, khususnya DKI Jakarta.

Memang bagi banyak negara, adanya otonomi dalam pengeluaran daerah (expenditure autonomy) seringkali dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan otonomi dalam penerimaan daerah (revenue autonomy). Meskipun demikian, faktor keseimbangan antara keduanya juga menjadi fokus perdebatan dalam desentralisasi fiskal.





DAFTAR PUSTAKA

Bastian Indra. 2001. “ Akuntansi Sektor Publik di Indonesia “, Yogyakarta ; BPFE UGM.
Prof.Dr.Mardiasmo,MBA,Ak ( 2002), “Akuntansi Sektor Publik”, Yogyakarta:Andi
Scribd diakses tgl 6-11-2011 : http://www.scribd.com/doc/16316049/desentralisasifiskal



[1] Sumber pertikaian lainnya adalah desentralisasi politik (political decentralization) dan desentralisasi
administratif (administrative decentralization).
[2] Aspek ini yang menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia dianggap oleh Bank Dunia sebagai
negara yang mengalami “big bang decentralization”. Big bang merupakan kebalikan dari gradualism

Tidak ada komentar:

Posting Komentar